Zuhud adalah yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah itu lebih diharap-harap dari apa yang ada di sisinya. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang kokoh pada Allah. Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menyatakan, “Yang menunjukkan lemahnya keyakinanmu, apa yang ada di sisimu (berupa harta dan lainnya) lebih engkau harap dari apa yang ada di sisi Allah.”
Abu Hazim seorang yang dikenal begitu zuhud ditanya, “Apa saja hartamu?” Ia pun berkata, “Aku memiliki dua harta berharga yang membuatku tidak khawatir miskin, pertama rasa yakin pada Allah dan kedua tidak mengharap-harap apa yang ada di sisi manusia.”
Lanjut lagi, ada yang bertanya pada Abu Hazim, “Tidakkah engkau takut miskin?” Ia memberikan jawaban yang begitu mempesona, “𝘽𝙖𝙜𝙖𝙞𝙢𝙖𝙣𝙖 𝙖𝙠𝙪 𝙩𝙖𝙠𝙪𝙩 𝙢𝙞𝙨𝙠𝙞𝙣 𝙨𝙚𝙙𝙖𝙣𝙜𝙠𝙖𝙣 𝘼𝙡𝙡𝙖𝙝 𝙨𝙚𝙗𝙖𝙜𝙖𝙞 𝙥𝙚𝙣𝙤𝙡𝙤𝙣𝙜𝙠𝙪 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙥𝙚𝙢𝙞𝙡𝙞𝙠 𝙨𝙚𝙜𝙖𝙡𝙖 𝙖𝙥𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙞 𝙡𝙖𝙣𝙜𝙞𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙙𝙞 𝙗𝙪𝙢𝙞, 𝙗𝙖𝙝𝙠𝙖𝙣 𝙖𝙥𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙞 𝙗𝙖𝙬𝙖𝙝 𝙜𝙪𝙣𝙙𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙩𝙖𝙣𝙖𝙝?!”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Hakikat zuhud adalah ridho pada Allah ‘azza wa jalla.” Ia pun berkata, “Sifat qona’ah, itulah zuhud. Itulah jiwa yang “ghoni”, yaitu selalu merasa cukup.”
Intinya, pengertian zuhud yang pertama adalah begitu yakin kepada Allah.
Kedua, di antara bentuk zuhud adalah jika seorang hamba ditimpa musibah dalam hal dunia berupa hilangnya harta, anak atau selainnya, maka ia lebih mengharap pahala dari musibah tersebut daripada dunia tadi tetap ada. Ini tentu saja dibangun di atas rasa yakin yang sempurna.
Siapakah yang rela hartanya hilang, lalu ia lebih harap pahala?! Yang diharap ketika harta itu hilang adalah bagaimana bisa harta tersebut itu kembali, itulah yang dialami sebagian manusia. Namun Abu Dzar mengistilahkan zuhud dengan rasa yakin yang kokoh. Orang yang zuhud lebih berharap pahala dari musibah dunianya daripada mengharap dunia tadi tetap ada. Sungguh ini tentu saja dibangun atas dasar iman yang mantap.